Generasi millennial, yang lahir pada tahun 1980 sampai dengan awal 2000-an menjadi generasi yang menggebrak konservativisme. Banyak tradisi lawas yang turun temurun diajarkan oleh orang tua dan nenek moyang mereka disanggah mentah-mentah. Investasi properti, mislanya. Rumah, kendaraan, atau emas batangan gagal menarik minat mereka. Namun, konser musik, teater, transportasi online dan kebiasaan traveling menjadi pilihan yang lebih mereka minati. Alih-alih melakukan investasi demi meraih sekuritas finansial, generasi millenial lebih tertarik untuk menikmati setiap momen yang mereka miliki dan mengisinya dengan pengalaman. You Only Live Once, barangkali menjadi tagline yang tepat menggambarkan gaya hidup mereka.
Tentu saja, gaya hidup dari setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah penemuan tentang wine. Apresiasi mereka terhadap pengalaman juga memengaruhi penilaian mereka terhadap wine. Generasi ini memandang wine sebagai kebudayaan yang layak diapresiasi dan harga yang dibandrol tidak lagi menjadi masalah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Florida House Experience, sebuah rehabilitasi narkotika dan alkohol di Amerika, faktanya, millenial di atas usia 21 tahun menghabiskan separuh dari jumlah produksi wine yang tersedia di Amerika. Penelitian tersebut menunjukan bahwa 32% dari kaum millenial memilih spirit, 35% lainnya memilih bir dan 42% dari mereka memilih wine.
Studi tersebut juga menunjukan bahwa separuh dari millenial berjenis kelamin perempuan mencintai wine ketimbang jenis alkohol lainnya. 22.94% dari mereka memilih red wine dan 20.41% lainnya memilih white wine. Hanya 19% dari mereka yang memilih bird an 9% memilih vodka.
Bila kita menoleh pada Indonesia, apakah generasi millenial kita juga mampu memandang wine sebagai kultur dan mampu menyesapnya dengan bertanggung jawab? Bagaimana menurut kamu?