Mari Nikmati Wine Dengan Tanggung Jawab

Hal-hal asing kerap menimbulkan rasa penasaran.

Masih ingatkah kamu ketika masih kecil, kamu mendengar guruh pesawat terbang pertama kali? Atau pekik halilintar? Lihat bagaimana kucing memandang dirinya di cermin. Hal-hal asing kerap menimbulkan rasa penasaran. Hal yang sama terjadi pada wine. Selama ini, kita mungkin mengenal wine sebagai minuman fermentasi anggur dan beragam elemen yang dilengkapi alkohol. Sebagai perusahaan yang berbasis pengetahuan, The Peak Connoisserus mengundang Sababay Winery untuk memberikan edukasi mengenai wine kepada para pelajar universitas dalam upaya menciptakan pemahaman mendalam tentang wine sehingga setiap individu dapat menikmatinya dengan penuh tanggung jawab.

WhatsApp Image 2019-04-12 at 09.45.22

Acara yang dihadiri oleh 80 pelajar di kota Bandung itu diadakan pada Jumat, 5 April 2019. Mulai pukul 16.00. Fidi Sjamsoedin, sebagai band strategist yang lebih dari 10 tahun berkecimpung di industri minuman beralkohol membuka acara dengan memperkenalkan Sababay, sebagai produsen wine lokal pertama di Indonesia yang bermarkas di Bali.

Acara berlanjut pada kisah perjalanan Sababay. Yohan Handoyo, penulis Rahasia Wine, yang memenangkan Gourmard Awards di London pada 2007 sebagai Best Wine Education Book melanjutkan penyampaian materinya dengan pertanyaan sederhana, apa, sih, alkohol itu? Mengapa orang-orang meminum alkohol? Pemaparan yang berlandaskan penelitian ilmiah dan data statistik membantu para peserta menyimak sudut pandang lain mengenai alkohol yang mungkin selama ini belum mereka dengar. Beliau juga menjelaskan mengenai prosesnya alkohol bekerja di dalam tubuh manusia. Pemahaman tersebut kami harapkan mampu meningkatkan kesadaran setiap orang untuk menikmati wine dan minuman beralkohol lainnya dengan tanggung jawab.

Mengerti dosis serta paham kapan perlu berhenti merupakan hal utama di dalam kesadaran untuk menikmati wine dan alkohol dengan tanggung jawab. Namun, tanpa implementasi dan konsistensi yang rutin pada tindakan, hal tersebut menjadi sia-sia. Tahu bagaimana minum dengan bertanggung jawab saja tidak cukup. Kita semua harus menunjukkan bahwa kita memang benar-benar mengimplementasikan tanggung jawab tersebut.

Tugas kami adalah mempersembahkan kolekasi berkualitas yang dihadirkan dari negara penghasil wine terbaik di dunia. Memastikan pelayanan yang kami berikan selalu memiliki nilai prima. Tugas para konsumen yang kami hormati adalah menikmatinya dengan penuh tanggung jawab. Mari kita sama-sama bangun kultur wine yang tidak hanya mengandung nilai budaya, seni, serta gastronomi. Tetapi juga etika sebagai panduan hidup bermasyarakat yang utama.

Seminar tersebut merupakan kampanye yang menggiring kita menuju event akbar Purana Dining, yang akan diadakan di Nu Art pada 27 April 2019.

Advertisement

Mengonsumsi Beer Sebelum Wine Membuat Hangover Lebih Ringan, Mitos Atau Fakta?

WhatsApp Image 2019-04-05 at 16.20.35

Beberapa dari kita pernah mengalami hang over, terbangun dengan kepala seberat besi, merasa haus setengah mati, serta kondisi lemas bukan main. Saat itu, kita boleh saja bersumpah untuk tidak menyentuh alkohol lagi selamanya. Tetapi, kita semua tahu bahwa perpisahan dengan alkohol adalah janji yang nyaris mustahil ditepati. Lagipula, hal tersebut tidak perlu dilakukan, apabila kita tahu bagaimana mengonsumsi alkohol dengan bertanggung jawab.

Lalu, beredar rumor yang menyatakan bahwa mengonsumsi beer sebelum wine membuat kondisi hangover lebih mudah dihadapi. Karena, kadar alkohol di dalam beer tertentu dinyatakan lebih rendah dan kita bisa melanjutkan dengan minuman dengan kadar alkohol lebih tinggi. Laju peningkatan yang lambat tersebut menghindari pengaruh alkohol yang melonjak secara signifikan dan mampu membuat hang over lebih mudah dihadapi keesokan harinya.

Tetapi, itu merupakan rumor yang selama ini kita dengar. Apakah ilmuan telah membuktikan hal itu? Mari kita cari tahu.

Dr. Kai Hensel, ilmuan yang melakukan penelitian klinis dari universitas Cambridge, bekerja sama dengan Jöran Köchling mengumpulkan 90 partisipan dengan rentang usia 19 sampai dengan 40 tahun untuk melakukan uji coba mengenai rumor tersebut.

Dr. Hensel bersama timnya membagi 90 partisipan ke dalam tiga kelompok. Satu kelompok meminum dua botol setengah bir, kemudian dilanjutkan dengan empat gelas wine ukuran besar. Kelompok kedua meminum urutan sebaliknya. Sementara itu, kelompok ketiga mencampur urutannya. Seminggu kemudian, Dr. Hensel bersama timnya meminta setiap peserta untuk melaporkan pengaruh yang dirasakan menggunakan sekala dari 0 sampai dengan 10, termasuk pada kondisi hang over. Mereka mengklasifikasikan tahapan hangover menjadi lebih terperinci ke dalam 8 tingkatan; kehausan, kelelahan, pening, sakit kepala akut, mual-mual, sakit perut, takikardia (kondisi di mana detak jantung berdegup lebih dari 60 kali dalam satu menit), dan kehilangan selera makan.

Faktanya, ketiga kelompok tersebut mengalami pengaruh hang over pada skala yang setara, tidak ada yang lebih rendah, maupun lebih parah. Hanya saja para perempuan cenderung mengalami pengaruh hang over yang lebih parah ketimbang pria.

Jadi, mulai sekarang, alih-alih menyiasati meminum bir sebelum wine untuk menghindari hang over yang parah, bagaimana kalau kita terapkan pola minum dengan tanggung jawab pribadi saja?

 

Pemenang Kompetisi Sommelier Kelas Dunia Tahun 2019: Marc Almert

best-sommelier-world-2019-1220x807

Kontes sommelier terbaik kelas dunia sudah diadakan sejak tahun 1969. Almert, dari Jerman,merupakan pemenang ke 16. Dia juga merupakan pemenang termuda, sebab penghargaan tersebut diraihnya padausia ke 27 tahun.

Ke 66 kandidat dari ke 66 negara diuji dengan serangkaian tes yang dilaksanakan di Antwerp, Belgia, sekaligus menjadi tuan rumah kompetisi tahun ini. Diputuskan Nina Jensen, dari Denmark, yang menduduki peringkat kedua. Sementara Raimonds Tomsons dari Latvia mengisi urutan ketiga.

Almert mengungkapkan bahwa pengalamannya bergelut di bidang teater cukup membantunya menghadapi tekanan pada saat blind tasting berlangsung. Pola napas yang baik berpengaruh pada kesiapan indra perasanya untuk mendeteksi. Dia terbiasa latihan mengatur napasnya sebelum dan setelah pentas.

Andres Rosberg, ketua dari The International Sommeliers’ Association (ASI) mengapresiasi bakat serta keuletan dari para kontestan untuk terus memperbarui pengetahuan mengenai keberagaman jenis anggur dan wilayah produksi anggur di seluruh dunia.

Penilaian bagi para kandidat disimpulkan berdasarkan tiga hal; pelayanan, blind tasting dan teori. Perilaku dan bahasa juga dipertimbangkan. Tujuh kategori tes merupakan gabungan antara pelayanan, blind tasting, teori, serta food and wine pairing. Para kontestan tampaknya paling bersenang-senang dengan tugas yang mengharuskan mereka untuk menyebutkan jenis anggur yang paling dominan dari ke 24 anggur, setelah hanya melihat nama anggur dan produsennya.

Almert mengakui bahwa tes teori dan blind tasting dari spirits adalah bagian paling sulit dari keseluruhan kompetisi. Di posisi ketiga, Raimonds justru menganggap tekanan yang berlangsung semasa kompetisi merupakan bagian terberat.

Pada sesi pasca press conference, disimpulkan bahwa ASI dan profesi sommelier pada umumnya mulai mengorbitkan generasi yang lebih muda, dari negara yang lebih beragam dan menambah jumlah sommelier perempuan.

Di Indonesia sendiri, kita memiliki Indonesia Sommelier Association (ISA) yang berafiliasi dengan The Association de la Sommellerie Internationale (ASI), yang didirikan di Reims, Perancis pada Juni  1969. Organisasi ini bertujuan untuk memperkenalkan wine sommelier di seluruh dunia, sehingga dapat mengembangkan pengetahuan apapun mengenai wine.

Disadur dari artikel Meet the world’s best sommelier 2019 winner: Marc Almert karya Natalie Earl.

Editing by Chris Mercer

Ilmuan Mengelompokkan Penikmat Wine Dalam 4 Kategori, Kamu yang Mana?

WhatsApp Image 2019-03-16 at 11.35.02

Tim Hanni, seorang chef, sekaligus orang Amerika pertama yang dinobatkan sebagai Master Of Wine pada tahun 1990 berhasil mengelompokkan para penikmat wine ke dalam empat golongan; sweet, hypersensitive, sensitive and tolerant. Nah, kira-kira, kamu termasuk ke dalam golongan yang mana?

Apabila kita menilik pada genetik, Hanni percaya bahwa preferensi seseorang terhadap wine ditentukan oleh lingkungan. Meski demikian, preferensi tersebut akan berubah secara berkala, tergantung pengalaman lidah mereka mengecap rasa. Pengalaman Hanni mengajar di beberapa universitas di dunia mengenai keseimbangan rasa, sensorik secara ilmiah, bahkan sampai sejarah kuliner telah mengantarkannya pada kesimpulan tersebut.

Golongan pertama Hanni mengklasifikasikan mereka ke dalam kelompok Sweet. Golongan ini terdiri dari orang-orang yang mengagumi wine dengan cita rasa yang ringan, bertekstur lembut dan rasanya manis. Bagi orang-orang di dalam kelompok ini, wine lainnya memiliki cita rasa dan aroma yang terlalu kuat sehingga mereka tidak lagi menikmatinya. Bahan tertentu yang muncul dan menjadi dominan ketika mereka menyesap wine juga ternyata gagal memikat lidah mereka. Tetap, wine yang ringan, manis, serta ramah di lidah tadi yang mereka jadikan juara. Hal itu membuat mereka canggung untuk mencicipi wine yang tidak akrab dengan lidah serta preferensi mereka.

Golongan kedua Hanni sebut Hypersensitive. Meskipun diberi nama Hypersensitive, namun orang-orang di golongan ini justru memiliki ketertarikan tinggi untuk mencicipi jenis wine baru yang tidak pernah mereka cicipi sebelumnya. Tetapi, mereka sangat berhati-hati pada apa yang direkam oleh lidah. Ketika wine jenis baru tersebut tidak disambut baik oleh lidah mereka, mereka tidak akan segan untuk mengurungkan niatnya meminum wine tersebut dan beralih pada wine lainnya.

Hanni membuat label Sensitive di tengah-tengah sensor spektrum sensitivitas. Biasanya, orang-orang di dalam kelompok ini cenderung fleksibel, selalu bersemangat dan mudah beradaptasi. Sehingga mereka tidak segan untuk mendapatkan pengalaman apapun dalam menikmati wine. Meskipun wine-wine tersebut terkadang tidak ramah di lidah mereka, mereka tetap akan mengapresiasi wine tersebut sebagai sebuah pengalaman baru.

Golongan terakhir disebut Tolerant. Mereka adalah orang-orang yang tergila-gila pada cita rasa yang intens. Mereka tidak lagi menilai rasa berdasarkan kenyamanan atau keakraban rasa pada lidah, melainkan berdasarkan masing-masing karakter bahan yang menciptakan wine itu sendiri. Tidak heran apabila orang-orang di dalam kelompok ini memiliki preferensi yang kaya sebab mereka tidak pernah membatasi diri dari jenis wine apa pun.

Seorang ilmuan dari Michigan State University belakangan ini menerapkan teori Hanni tersebut ke dalam bentuk uji coba terhadap beberapa kelompok penikmat wine dan berusaha menemukan pola. Setiap partisipan diminta untuk memberikan rating pada 12 jenis wine berbeda. Setelah setiap peserta mendapatkan salah satu label dari empat label tadi, mereka diminta untuk menyebutkan minuman favorit mereka selain wine. Terbukti, mereka yang tergolong penikmat sweet lebih sangat menikmati minuman bersoda. Sementara para tolerant lebih menikmati kopi dengan cita rasa yang pekat.

Setelah membaca artikel ini, barangkali kamu dapat lebih mudah mengelompokkan diri ke dalam penikmat wine tertentu. Tetapi, mohon diingat, perbedaan kelompok jangan sampai meruntuhkan kesadaran akan persatuan yang sudah susah payah kita bangun, ya.

Wine di Lidah Millenials

WhatsApp Image 2019-03-09 at 13.59.08

Generasi millennial, yang lahir pada tahun 1980 sampai dengan awal 2000-an menjadi generasi yang menggebrak konservativisme. Banyak tradisi lawas yang turun temurun diajarkan oleh orang tua dan nenek moyang mereka disanggah mentah-mentah. Investasi properti, mislanya. Rumah, kendaraan, atau emas batangan gagal menarik minat mereka. Namun, konser musik, teater, transportasi online dan kebiasaan traveling menjadi pilihan yang lebih mereka minati. Alih-alih melakukan investasi demi meraih sekuritas finansial, generasi millenial lebih tertarik untuk menikmati setiap momen yang mereka miliki dan mengisinya dengan pengalaman. You Only Live Once, barangkali menjadi tagline yang tepat menggambarkan gaya hidup mereka.

Tentu saja, gaya hidup dari setiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Fenomena ini kemudian melahirkan sebuah penemuan tentang wine. Apresiasi mereka terhadap pengalaman juga memengaruhi penilaian mereka terhadap wine. Generasi ini memandang wine sebagai kebudayaan yang layak diapresiasi dan harga yang dibandrol tidak lagi menjadi masalah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Florida House Experience, sebuah rehabilitasi narkotika dan alkohol di  Amerika, faktanya, millenial di atas usia 21 tahun menghabiskan separuh dari jumlah produksi wine yang tersedia di Amerika. Penelitian tersebut menunjukan bahwa 32% dari kaum millenial memilih spirit, 35% lainnya memilih bir dan 42% dari mereka memilih wine.

Studi tersebut juga menunjukan bahwa separuh dari millenial berjenis kelamin perempuan mencintai wine ketimbang jenis alkohol lainnya. 22.94% dari mereka memilih red wine dan 20.41% lainnya memilih white wine. Hanya 19% dari mereka yang memilih bird an 9% memilih vodka.

Bila kita menoleh pada Indonesia, apakah generasi millenial kita juga mampu memandang wine sebagai kultur dan mampu menyesapnya dengan bertanggung jawab? Bagaimana menurut kamu?

Angel Shot : Isyarat Permohonan Bantuan

angel-shot-keeps-women-safe

Pergi ke bar atau lounge selalu kedengaran sebagai gagasan yang menyenangkan. Terkadang, kita hanya ingin menikmati Sauvignon Blanc sendirian, melepas penat. Atau, sambil berbincang dengan teman. Bisa juga berkencan. Tetapi, perempuan yang duduk sendirian terkadang menjadi incaran seseorang untuk melancarkan aksi tidak menyenangkan. Dimulai dari godaan yang disodorkan melalui minuman gratis, sampai pelecehan seksual. Untuk menghindari kasus tersebut, sebuah bar di Amerika punya solusinya.

Restoran Iberian Rooster di St. Petersburg, Florida, sengaja memasang poster berisi sebuah isyarat permohonan bantuan di kamar mandi perempuan. Apabila pengunjung merasa tidak nyaman dengan seseorang yang mendekatinya, dia bisa memesan segelas minuman dengan nama Angel Shot. Tidak hanya itu, isyarat bantuan tersebut dilengkapi beberapa pilihan;

Angel Shot murni merupakan isyarat seorang bartender untuk mengantar pengunjung sampai ke rumah.

Angel Shot dengan es batu merupakan isyarat pada bartender untuk memesankannya transportasi online.

Angel Shot dengan lemon merupakan isyarat pada bartender untuk menelepon polisi.

Trik tersebut mampu membebaskan siapa pun dari gangguan dengan cara yang cerdas. Bahkan, beberapa bar dan lounge di Amerika lainnya sudah menerapkan pola serta sistem sejenis, untuk menekan angka kriminalitas yang terjadi di tempat hiburan. Barangkali, ini bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para pemilik bar di Indonesia untuk menghadirkan tempat hiburan yang bukan hanya menyenangkan, sekaligus aman.

Barangkali, teknik tersebut mampu diterapkan oleh bar-bar lokal di Indonesia, demi menjaga pengunjung dari predator yang tidak bertanggung jawab.

ATTN mempublikasikan video mengenai salah satu bar dengan isyarat tersebut. Berikut link yang bisa kamu kunjungi; https://www.youtube.com/watch?v=J6ZatuqbkEI&feature=youtu.be.

Nah, kalau urusan perasaan, apakah kamu juga masih terbiasa menggunakan isyarat? Atau termasuk kelompok yang gagah menyampaikan perasaan dengan verbal?

Gurat Kenangan Robert William di Bandung dalam ‘Titik Singgah’

Malam ini, Bandung berangin dan gerimis.

Selasa, 19 Februari 2019,  area Dago atas dipadati oleh seniman dan para pecinta seni. Menjelang malam, lilin di sekitar Thee Huis galeri disebar. Pemain saxophone dan gitar siaga menghidupkan suasana. Pintu utama galeri resmi dibuka.

WhatsApp Image 2019-02-20 at 10.31.29

William Robert, setelah dua puluh enam tahun, kembali ke Bandung dengan menggelar pameran tunggal dengan tajuk ‘Titik Singgah’.

Dalam pamerannya kali ini, William mempersembahkan sepuluh peristiwa yang diguratnya ke dalam karya-karya yang artistik. Perpaduan antar garis, bentuk, simbol, serta warna menjadi komposisi utama dalam karyanya. Setiap elemen mewakili representasi tertentu. Warna merah, misalnya, yang dipilih William sebagai perwakilan kelompok Tionghoa yang selama ini telah berjasa dalam mendukung karirnya. Lengkung sebuah wilayah digoreskan William untuk menggambarkan kota Bandung, sementara goresan lain di dalam lengkung tersebut hadir dalam beragam warna dan bentuk, mewakili lambang keramahan kota Bandung pada akulturasi. Melalui salah satu karyanya, William ingin menunjukan bahwa siapapun, dengan etnis manapun, akan diterima di kota Bandung untuk menjadi kesatuan. Keterbukaan itulah yang dipercaya William mampu menorehkan banyak warna, sebanyak yang telah ditorehkannya dalam karya pamerannya kali ini.

WhatsApp Image 2019-02-18 at 14.51.22

Dalam pembukaan pameran ‘Titik Singgah’, William menceritakan perjalanannya sebagai seniman yang dimulai dari sepetak kamar ukuran 2 x 3, di daerah Sekeloa. Bagaimana pada awalnya ia menciptakan karya komersil untuk menyambung hidup. Ia juga menceritakan pertemuan perdananya dengan Sunaryo, yang telah meraih banyak penghargaan, salah satunya “Lifetime Achievement Award” dari Yayasan Biennale Jogja (2017). Serta Eddy Sugiri, seorang arsitek yang kini bergelut membangun wine culture di Bandung sekaligus Indonesia melalui The Peak Connoisseurs, yang telah tersebar sebanyak 14 outlet di Bandung, 2 outlet di Jakarta, serta 1 outlet lagi di Bali, Seminyak. Beliau juga senantiasa memberikan bantuan dukungan sepanjang karir William sampai hari ini.

Bapak Eddy yang malam tadi turut hadir membuka pameran juga memberikan sambutannya pada William dan perjalanan karirnya sebagai seniman. Beliau menjelaskan bagaimana seniman, dengan kepekaan serta kemampuannya mengemas potret sosial ke dalam karya seni mampu menjadikannya sebagai refleksi budaya dan catatan sejarah penting dalam kehidupan bermasyarakat. Yang tidak hanya mengandung nilai-nilai kemanusiaan, melainkan juga nilai estetika yang layak mendapat atensi dan apresiasi.

WhatsApp Image 2019-02-18 at 14.51.26

Pameran William berlangsung sampai tanggal 28 Februari 2019, dibuka pukul 10 pagi sampai dengan 5 sore. Pameran William memungkinkan Anda untuk mengamati struktur geografis, kultur, isu sosial, etnik sampai agama dari sepasang mata William, dikemas dengan apik melalui karya-karyanya yang estetik.